Senin, 21 Juli 2014

Sebatang Pohon dan Aku lelah

Bismillahirrahmanirrahim.

Fiyuh..

Sebatang pohonlelah menggerogoti tubuh ini. Tapi tak apa. Alhamdulillah, karenanya istirahat menjadi sangat bermakna. Air es yang masuk seteguk demi seteguk melepas dahaga. Nyaman terasa tenggorokan ini. Baru saja sampai di rumah. Perjalanan hari ini sungguh membuat hati bercampur aduk jadi satu. Campuranya apa? Letih, senang, haru, senyum, beradu dalam tubuh mungil ini.

---

Aku menginjakkan kaki lagi di kampus. Ingin bertemu dosen. Menjalankan tugas terakhir yang aku emban belakangan ini. Nilai hasil Ujian mahasiswa harus terkumpul. Sebebnarnya aku telah menyelesaikannya sejak hari rabu kemarin. Hanya saja sakit gigi ini membuatku menunda pertemuan dengannya.

Alhamdulillah, hari ini tampaknya sudah sehat kembali. Nyerinya sudah tak terasa. Walau makan masih kadang menelan makanan begitu saja.
”Pak, hari ini ke kampus. Insya Allah saya ke kampus” kukirim smsku ke dosen yang bersangkutan.
”Oke. Ditunggu. Masih ada 1 ujian susulan yang mau di periksa” balasnya.
”Oh iye pak. Baru mau siap-siap. insya Allah.” Balasku lagi padanya.

Dengan sigap aku langsung beranjak dari tempat duduk-dudukku yang saat itu masih di depan laptop. Baru saja menyelesaikan tulisan untuk blog pagi ini. Tak lama aku sudah siap. let’s goo…

Seperti biasa aku harus berjalan sedikit untuk mendapatkan angkot. Pas sampai, eh ternyata sudah ada angkot yang menungguku. Segera aku menuju ke arahnya lalu menaikinya. Aku menikmati perjalanan itu. Walau sedikit ngantuk.

Setelah menempuh perjalanan sekitar 40 menit. Sampai juga di kampus tercinta. Langsung saja kulangkahkan kaki menuju laboratorium yang biasa ku kunjungi. Disanalah dosenku berada.

“Tadi ada pak Rhiza?” tanyaku pada seorang junior yang tengah asyik dengan laptopnya. Aku baru saja melewati ruangan pak Rhiza namun beliau belum ada. Hanya ingin memastikan jika memang beliau belum ada di sini sejak tadi.
“Sepertinya belum ada kak.” ucapnya.
“Tidak pulkam kak? atau di Makassarji kampung ta?” Lanjutnya bertanya sambil tertawa.
”hehe.. tidak. Belumpi. tanggal 26pi kayaknya” Jawabku sambil melihat-lihat sekeliling. Lama tak kesini. Rasanya banyak yang berubah.
”Dirimu bagaimana? Nda pulang kampung?” Tanyaku balik padanya. Aku masih berputar-putar di sekeliling tempat kecil itu.
”ah, maunya kak. Tapi dilarang”ucapnya sambil geleng-geleng kepala. Tangannya ia letakkan di kepala bagian depan.
”Hah? kenapa?”tanyaku dengan nada agak kaget.
”Karena skripsi belum selesai. hahaha.. beginimi kalau tidak fokus kerja.” Ucapnya di ikuti dengan tawa.
”Memang kampungmu dimana?” Tanyaku lagi.
”Di Kalimantan kak” ucapnya. Ia masih duduk di tempat yang sama dengan gaya yang sama sebelumnya. Tangan di kepala.
”wah, jauhnya jugami (jauh juga ya, red)” ucapku.

Aku masih menunggu kedatangannya. Aku duduk di dekat meja dalam laboratorium. Kuambil sebuah buku. Buku itu menemaniku kira-kira 20 Menit. Daripada menunggu nothing, mending baca buku. Banyak pelajaran yang kudapat. Bagian yang kubaca adalah sebuah kisah tentang pengabdian orang tua, dan agar kita berbakti kepada orang tua.  Yuk, simak kisahnya.
----

Ada sebatang pohon apel yang cukup besar dan anak laki-laki yang senang bermain-main di sekitarnya. Anak laki-laki itu senang memanjat pohon tersebut hingga ke pucuknya. Ia memakan buahnya dan tidur-tiduran di bawah rindang daunnya. Ia sangat mencintai pohon apel itu, demikian pula sebaliknya.

Waktu terus berlalu. Anak laki-laki itu telah tumbuh besar dan tidak bermain lagi dengan pohon apel tersebut. Setelah sekian lama, ia baru mendatangi pohon itu. Langkahnya gontai, wajahnya sedih. “Ayo bermain lagi denganku” ajak pohon apel itu.

“Aku bukan anak kecil lagi yang suka bermain-main dengan pohon,” jawabnya, “Aku ingin sekali memiliki mainan, tapi aku tak punya uang untuk membelinya.”

Pohon apel itu menyahut, “Aku pun tak punya uang. Tapi, kau boleh mengambil semua buahku dan menjualnya. Dengan begitu, kau bisa mendapatkan uang untuk membeli mainan kesukaanmu.”

Anak laki-laki itu sangat senang. Ia lalu memetik semua buah apel yang ada di pohon itu dan pergi dengan penuh suka cita. Namun, setelah mendapatkan apa yang diinginkannya, ia tak pernah lagi terlihat. Pohon apel itu pun kembali sedih.

Suatu hari yang panas, anak laki-laki itu terlihat kembali. Pohon apel sangat senang melihatnya datang. “Ayo bermain denganku lagi!” ujarnya.

“Aku tak punya waktu,” jawab anak laki-laki itu. “aku harus bekerja untuk keluargaku. kami membutuuhkan rumah untuk tempat tinggal. maukah kau menolongku?”

“Maaf, aku pun tak memiliki rumah. Tapi, kau boleh menebang semua dahan dan rantingku untuk membangun rumahmu” kata si pohon apel.

Anak laki-laki itu setuju. Ia kemudian menebang semua dahan dan ranting pohon itu dan pergi dengan gembira. Pohon apel itu juga merasa bahagia melihat anak tersebut senang. Namun, setelah mendapatkan apa yang ia inginkan, anak laki-laki itu tak pernah kembali lagi. Pohon apel itu lagi-lagi sedih dan kesepian.

Pada suatu musim kemarau, anak laki-laki itu menampakkan dirinya. Pohon apel sangat senang menyambutnya. “Ayo bermain lagi denganku!” ujarnya seperti puluhan tahun sebelumnya.

“Aku sedih,” kata anak laki-laki itu, “aku sudah tua dan ingin hidup tenang. Aku ingin pergi berlibur dan berlayar. Maukah kau memberiku sebuah kapal untuk berpesiar?”

Pohon apel menghela napas panjang. “Maaf,” ujarnya, “aku tak punya kapal. Tapi, kau boleh memotong batang tubuhku dan menggunakannya untuk membangun kapal yang kau mau. Pergilah berlayar dan bersenang-senanglah!”

Tak punya banyak pilihan, anak laki-laki itu memotong batang pohon apel tersebut dan mengubahnya menjadi kapal. Ia lalu pergi berlayar dan tak pernah terlihat lagi.

Musim bergulir, tahun berganti. Suatu hari, anak laki-laki itu datang kembali menemui pohon apel setelah bertahun-tahun tak bersua. “Maaf, anakku,” pohon apel itu berkata lirih, butir-butir air mata menetes dari pelupuk matanya, “Aku tak memiliki apa-apa lagi yang bisa ku berikan padamu. Yang tersisa hanyalah akar-akarku yang sudah tua dan sekarat ini.”

“Aku tak memerlukan apa-apa lagi sekarang,” jawab anak laki-laki itu. “Aku hanya membutuhkan tempat beristirahat. Aku sangat lelah setelah sekian lama menjelajah dunia.”

“oh, baguslah kalau begitu. Tahukah kau, akar-akar pohon tua adalah tempat terbaik untuk berbaring dan beristirahat. Mari, mari berbaring di pelukan akar-akarku dan beristirahat dengan tenang.”

Anak laki-laki itu menurut. Ia lalu berbaring di pelukan akar-akar pohon apel dan mengistirahatkan tubuh serta jiwanya. Pohon apel itu sangat gembira. Bibirnya tersenyum, matanya berkaca-kaca.

Pohon apel itu ibarat orang tua kita. Ketika masih kanak-kanak, kita sering bermain dengan mereka. Ketika beranjak dewasa, kita mulai meninggalkan mereka, dan hanya pulang ketika memerlukan sesuatu atau dalam kesulitan. Tapi seakan tak peduli, orang tua kita selalu ada disana untuk kita untuk memberikan apa yang bisa mereka berikan agar kita bahagia. Kita mungkin berpikir bahwa tak semestinya anak laki-laki itu bersikap seperti itu. Namun, kadang begitulah cara kita memperlakukan orang tua kita.

---

Membaca kisah dalam buku itu. Bagaimana perasaanmu? Diriku? Jangan ditanya. Air mata hampir saja menetes. Segera aku seka butir-butir air yang sudah ada di ujung tanduk. Bahkan ketika menulisnya kembali di tulisan ini. Hatiku bergejolak. Seakan sama seperti laki-laki itu. Bedanya aku adalah wanita dan ia laki-laki. Tapi rupanya perlakuan tak jauh berbeda.

Sungguh terbayang masa-masa lalu. Ingin memeluk ayah seketika. Ingin memeluk ibu seketika. Apa daya Ayah tak disini. Ia berada di jarak sana. Namun apa daya lagi, ibu juga tak di sini. Ia berada di sisi Allah swt. Rindu menyengat, seakan petir baru saja menyambar hati. Jika aku membaca di kamarku sendiri, tangis itu takkan mungkin terbendung.

huffftttttt

“Ya Allah.. Rabbigfirlii Waliwaalidayya warhamhumaa kamaa rabbayaanii shagiiraa”
Ya Allah, Wahai Tuhanku , ampunilah aku dan kedua orang tuaku, sebagamana mereka telah mendidikku sewaktu masih kecil

Mari kita mendoakan mereka. Yang masih bersama orang tuanya saat ini. Aku bisa bilang sungguh beruntung dirimu. karena akan ada orang tua yang senantiasa tulus memberi tanpa mengharap. Yang penting anaknya senang, itu menjadi senyuman dalam hatinya. Sekali lagi bersyukurlah wahai kawan.

Tak lama suara pintu itu terdengar. Aku meliriknya. Ohh.. bukan, gumamku. Aku menulis secarik catatan di buku saku yang senantiasa bersamaku. Suara pintu kembali terdengar. Aku menoleh. Yes, sudah datang.

Aku pun segera ke ruangan dosen tersebut. Memberikan hasil ujian yang telah aku periksa. Memeriksa pekerjaan terakhir. Akhirnya, selesai juga.

Alhamdulillahirabbil`alamin.

#MariTetapBerbakti #SelamatBerbaktiKawan

2 komentar:

  1. alhamdulillah.. akhirnya selesai juga ya :)
    berbakti memang harus selalu dilakukan ya mak.. salam kenal :)

    BalasHapus
  2. @Vanisa Desfriani Alhamdulillah mak. Iya mak, bener-bener harus berbakti sama orang tua. Salam kenal mak vanisa :)

    BalasHapus

Terima kasih sudah mampir. Semoga bisa bermanfaat selalu :) Amin.
Jangan lupa komentarmu ya, karena komentarmu adalah semangatku untuk terus berbagi ^^)

Komentar yang mengandung SARA, link hidup, dan spamming akan dihapus ya.. Terima kasih atas perhatiannya :)