,
Bismillahirrahmanirrahim
Kemarin,
tak sengaja melihat postingan instagram salah satu teman. Ia membahas tentang surat
untuk ibu. Ia pun menuliskan beberapa penggal bait di caption-nya. Hampir saja butir-butir air dari kelopak mata jatuh ke
pipi, namun diri ini mencoba membendungnya dengan sekuat tenaga.
Sejak
2007 lalu, Ibu menghembuskan nafas terakhirya di dunia. Ia tak lagi dapat saya
peluk bahkan tak dapat lagi bersenda gurau dengannya. Meski selama ini saya
sangat dekat dengan ayah bahkan rasanya tak ingin lepas darinya sedari kecil,
namun kebersamaan ibu lebih intents.
Beranjak
SMP, kami sering menghabiskan waktu bersama selepas pulang sekolah. Masih
teringat jelas, sore hari di mana kami sering berkumpul bersama tetangga dan
keluarga dekat lainnya yang se-kampung. Ibu selalu mewanti-wanti tentang
pergaulan. Ketika kami berkumpul, tak jarang mereka membicarakan tentang cara
bergaul seseorang atau sikap seseorang. Bisa dikatakan mereka “bergosip”.
Ibu
adalah sosok yang cukup tegas. Utamanya dalam hal pengeluaran. Tak jarang
keinginan untuk belanja tak dapat dipenuhi karena beliau sangat memperhitungkan
keuangan kami. Perlu saya akui bahwa kami bukanlah orang dengan kekayaan
berlimpah. Butuh kerja keras untuk menghidupi dirinya beserta keluarga.
Ayah
adalah seorang petani, sedangkan ibu hanyalah seorang ibu rumah tangga yang
bertugas mengurus anak-anaknya. Walaupun begitu, ibu tetap berusaha membantu
ayah dengan menjual “cangkang” ketupat kepada penjual coto. Cangkang ini
nantinya yang akan diisi oleh beras dan kemudian dimasak dan jadilah ketupat
yang dapat dinikmati bersama coto maupun bakso di pasar.
Di
awal bisnis sepertinya ibu cukup berhasil meraup uang dan mencukupi kebutuhan
keluarga. Ayah juga masih kuat untuk mencari uang dengan bekerja di pabrik
pembuat rokok secara tradisional. Waktu pun berlalu dan saya lahir.
Di
usia 6 tahun, saya melihat bahwa ibu tak sehat. Beliau sering batuk-batuk dan
kadang sakit. Seiring bertambah usia, batuknya semakin parah. Sudah banyak obat
dokter yang diminumnya. Sepertinya sudah beberapa kali berganti obat dokter,
namun batuknya malah bertambah parah saja.
Sejak
SMP, ibu tak lagi dapat bekerja banyak. Kami anak-anaknya pun harus membantu
beliau untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan menjalankan bisnisnya. Uang jajan
kami pun kadang ditentukan dari banyaknya ketupat yang dapat kami buat.
Saat
SMA, beliau tak lagi se-produktif dulu. Untuk ke pasar saja kadang kala beliau
harus ditemani karena tak mampu membawa barang berat-berat. Tubuhnya lama
kelamaan mengurus dan suaranya mulai parau. Malam hari kadang rasanya beliau
tak bisa tidur dikarenakan batuk-batuk tiada henti.
Walaupun
ibu mengalami pergulatan hidup semacam itu, namun di mata ini, beliau adalah
sosok yang sangat kuat. Ia masih bisa bekerja dan masih dapat memberikan kasih saying
kepada anak-anaknya. Meski memang kami jarang berbincang-bincang lama. Namun, setiap
kata yang beliau ucapkan selalu untuk kebaikan kami semata.
Terima
kasih ibu.
Maafkan
anakmu yang tak mampu menjagamu
sepanjang waktu.
Maafkan
anakmu yang tak mampu bersamamu sepanjang waktu
Rasa
sesal tak jua mampu kuhapuskan
Karena
diri yang tak bersamamu di detik-detik terakhirmu
Diri
ini tak berada disampingmu, memelukmu
Kuingin
memelukmu tapi tak bisa lagi
Ketika
kulihat tubuh kaku itu
Terbungkus
rapih dalam balutan kain putih
Pikiran
ini kosong
Tak
tahu harus bagaimana
Air
mata yang tak mampu kuluapkan di depan umum
Kuterdiam!
Tak bisa berkata-kata
Satu
kata saja, satu pertanyaan saja
Orang-orang
itu akan mengajukannya
Di
saat itulah mata ini mengeluarkan cairan beningnya
Ibu,
Terima kasih atas jasamu
Semoga
engkau senantiasa dalam Lindungan-Nya di alam sana
Semoga
Allah melapangkan kuburmu
Semoga
kita mendapatkan syafaat Rasulullah swt.
Semoga
kita dipersatukan di Jannah-Nya. Aamiin
Alhamdulillahirabbil`alamin
Makassar-Antang,
28 November 2018, 10:34PM!