Kamis, 31 Desember 2015

A man in the Hospital

Bismillahirrahmanirrahim.

Mata ini sungguh sembab. Saya belum juga tertidur setelah semalam suntuk menjaga orang sakit. Bisa dibilang saya belum tidur. Hingga saat ini, pagi menjelang. Akhirnya tiba juga kantuk ini terasa. Cerah atau tidak pagi ini, saya pun tak tahu. Dirumah sakit, hanya menikmati cahaya lampu. Kini waktunya untuk merebahkan tubuh sejenak.

Dengan sigap saya mengambil sebuah sarung. Sarung ini saya gelar di lantai dekat kasur pasien. Ahhh… Alhamdulillah.. mari meluruskan badan sejenak.
“Bangun-bangun.. masa jam segini masih tidur” ucap seorang laki-laki yang baru saja masuk ke kamar pasien. Agak sedikit dongkol. Laki-laki itu mungkin berumur sekitar 40 tahunan. Ia adalah seorang dokter yang sedang dinas pagi ini. Ya Allah.. baru juga tubuh ini di rebahkan di suru bangun lagi. Saya tahu sih maksud si dokter ini tentu baik. Karena tak baik seseorang tidur di pagi hari. Seperti kata pepatah “Nanti rejekinya di patok ayam”. “Tapi apa boleh dikata pak. Ini saya baru tidur” ucapku dalam hati.

Mau tidak mau, saya harus bangun dan membereskan kembali lantai itu. Dengan segera saya menarik sarung dan berdiri. Dokter akan check kondisi pasien pagi ini. Saya harus rela dan bersabar menahan kantuk ini. Oh ya Allah.. kuatkanlah. Huffttttt…

Pertama-tama sang dokter memeriksa pasien disebelah kami. Ia adalah pasien yang sudah operasi kanker otak. Bekas operasi dan selang ke otak masih terlihat jelas. Ya Allah.. kuatkanlah pasien tersebut. Raut wajahnya terlihat menderita sekali. Tak lama kemudian tibalah giliran sepupuku yang mendapatkan inspeksi pasien. Dokter tadi ditemani oleh beberapa dokter lainnya. Mereka sekitar 5 orang.

“Ibu, bagaimana keadaannya?”ucap sang dokter yang memakai baju korpri. Suaranya sungguh menggelegar memecah kesunyian rumah sakit. Yang lainnya memakai jas dokter. Hanya bapak itu yang menggunakan baju korpri.
“Biasa pak dia masih pusing. Belum bisa makan. Kalau minum, beberapa menut kemudian langsung muntah lagi” ucapku pada sang dokter.
Ia pun menyuruh pasien berbali ke arahnya. Bekas-bekas luka goresan terukir jelas di wajah sepupuku.
“Wah parah. Sudah dikasi salep ini? Mau dikasih salep yang biasa atau yang bagus?” tanya sang dokter kepada kami para penjaganya. Saya dan ibu pasien. Sejenak saya terbengong.
“Bagaimana? Mau yang biasa atau yang bagus?” ucapnya lagi. “Nanti berbekas itu. Bahaya itu. nanti diputuskan sama cowoknya” lanjut sang dokter lagi tetap dengan suaranya yang mengelegar. Saya tertawa getir. saya langsung menyerahkan ke ibu pasien. Sejenak ia juga terdiam lalu angkat bicara.
”Tidak usah pak. Sudah ada salepnya” ucap sang ibu.
”Salep apa? coba liat” ucap sang dokter dengan nada yang tinggi.
”CNI. Ini pak” ucap sang ibu sambil menyerahkan salep yang baru saja ia keluarkan dari tasnya. Dokter memandangi salep itu sejenak.
“Ah,, apa ini? he’” ucapnya sambil melemparkan salep itu ke kasur. Ia pun berlalu pergi. Dokter-dokter yang mengikutinya pun tertawa dan ikut berlalu pergi mengunjungi pasien di depan kami.

Sungguh marah terasa diri ini. Saya sangat tidak suka dengan sikap bapak itu. Sungguh jengkel sekali. Arrrggggggg…. Saya bergumam sendiri dalam hati. Ingin rasanya kuucapkan “Pak. Bapak tau ini rumah sakit? Kok suaranya besar sekali. Kalau bapak tau, tolong pelankan suaranya. Bapak juga tak perlu bersikap seperti itu. Kami tahu kami bukan orang kaya. Tapi cara bertanyanya tak perlu juga seperti itu” Arrrggg… sekali lagi diri ini sungguh geram. Namun apa daya, lidah ini sungguh keluh. Tak sanggup berkata apa-apa. Ia memilih untuk diam tanpa kata. Meratapi sikat tadi dalam hati saja.

Ya Allah… Semoga lelaki tadi diberi kemudahan rejeki. Sungguh ia telah menyakiti hati kami. Ibu pasien sangat merasakan sakit dari sikapnya. Ketika ia curhat, saya hanya bisa tersenyum dan berkata “memang begituji ibu”. Kejadian ini menjadi pelajaran berharga bagiku.

“Jangan menyakiti” kalimat ini terngiang di kepalaku. Beberapa menit sebelumnya saya sempat membaca sebuah artikel di FB. Part yang teringat adalah jangan menyakiti. Karena itu akan berpengaruh dalam hidup kita. Oleh karenanya, bersyukur sekali Allah swt. mengeluhkan lidahku. Ia membiarkanku dalam diam menerima keadaan. Jika saja uneg-uneg itu keluar maka bertambahlah sakitnya. Jadilah diri ini menyakiti juga. Lalu apa bedanya dengan dirinya yang menyakiti pula? Alhamdulillah ya Allah… Terima kasih atas kebaikan-Mu padaku. Semoga kita semua dapat menjaga lisan dan perbuatan agar tak menyakiti sesama. Mari beristigfar bersama.. Astagfirullah… Astagfirullah… Astagfirullah.. Semoga Allah swt. melindungi kita dari perbuatan buruk dan menyakiti orang lain. Aamiin.

Alhamdulillahirabbil`alamin.

Makassar, 17 Desember 2015 (5 Rabi al-awwal 1437 H)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah mampir. Semoga bisa bermanfaat selalu :) Amin.
Jangan lupa komentarmu ya, karena komentarmu adalah semangatku untuk terus berbagi ^^)

Komentar yang mengandung SARA, link hidup, dan spamming akan dihapus ya.. Terima kasih atas perhatiannya :)